Leadership, Thoughts, Books, Writing !

MEMBANGUN SIKAP: APAKAH ANDA PERCAYA KEPADA ORANG DI SEKITAR ANDA

1 731

… Yesus sendiri tidak mempercayakan diri kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua” (Yohanes 2:24).

PENGANTAR

Apakah Anda cukup mempercayai orang-orang di sekitar Anda? Apakah mereka dapat dipercayai? Apakah mereka mempercayai Anda? Semua pertanyaan ini dapat menjurus kepada mendorong sikap mencurigai orang yang ada di sekitar kita. Tentu saja tidak. Orang berpandangan bahwa mencurigai itu salah. Ini benar. Tetapi apakah sikap tidak cepat percaya juga mutlak salah? Sebaliknya, apakah sikap cepat percaya itu mutlak benar? Mari kita pertanyakan terus. Apakah Anda dapat mempercayai orang begitu saja? Apakah Anda mau mempekerjakan orang yang tidak dikenal dengan serta merta? Apakah untungnya percaya dan tidak percaya kepada orang yang ada di sekitar Anda? Apakah Anda memahami sejauhmana mempercayai seseorang, bagaimana mempercayainya dan sejauh mana pula dampak dari mempercayai itu bagi diri serta kepemimpinan Anda? Simaklah:

  1. PERCAYA DAN TIDAK PERCAYA ADA DASARNYA. Mengapa Anda percaya dan mengapa Anda tidak percaya kepada seseorang tentu ada alasannya. Anda tentu tahu apa sebabnya Anda percaya mau pun tidak percaya kepada seseorang. Ini bicara tentang alasan atau dasar bagi percaya dan tidak percaya. Ingatlah, kalau Anda adalah pemimpin, maka orang akan mendekat dengan berbagai motif, ambisi dan kehendak. Ada yang murni, ada yang ambisius, ada yang menjilat, ada yang ingin tahu, ada yang mau menghancurkan Anda. Hm, … Anda tentu pikir yang murni itu baik. Tunggu, Anda dapat salah besar. Anda bisa lupa diri dan terjebak di sini. Alasannya ialah bahwa Anda tidak mengetahui motivasi, ambisi dan kehendak sejati dari orang yang dianggap murni tadi. Orang yang dianggap murni bisa saja berubah menjadi tidak murni kelak, karena manusia berkembang, manusia berubah. Kalau yang ambisius, menjilat, dan bersikap memusuhi, Anda gampang saja mengenal mereka. Tetapi yang dianggap murni bisa seperti domba jinak. Ingatlah pula, Anda akan terkecoh oleh “spirit serigala” di balik buluh dombanya. Begini, di sini tidak ada ajakan untuk mencurigai setiap orang, karena semangat mencurigai akan menggerogoti jiwa Anda, dan Anda akan menjadi sakit sendiri, jiwa Anda menjadi tidak sehat. Apa yang harus Anda lakukan? Anda harus menetapkan alasan, mengapa Anda mempercayai dan tidak mempercayai seseorang. Memang faktor integritas karakter (Keluaran 18:21; Filipi 4:5,8) adalah alasan kuat mempercayai seseorang, akan tetapi adalah bijak bila Anda tetap harus menetapkan alasan mengapa Anda mempercayai dan atau  tidak mempercayai. Ini landasannya, yang murni bisa berubah menjadi tidak murni karena kehendak, ambisi, kepentingan dan kesempatan yang diberikan berdasarkan kepercayaan. Ingat catatan ini: “Tidak ada kestabilan dalam dunia kekuasaan, jadi bahkan teman-teman terdekat sekalipun bisa berubah menjadi musuh terburuk Anda” (Robert Greene). Pikirkanlah, mengapa Yesus Kristus tidak mempercayakan diri kepada siapa pun, khususnya orang-orang Yahudi pada zamannya.
  1. MEMPERCAYAI ITU ADA BAIK DAN BURUKNYA. Sesungguhnya mempercayai seseorang yang layak dipercayai itu baik. Bahkan tidaklah salah tidak mempercayai orang yang tidak layak dipercaya. Namun, perlu disadari bahwa soal percaya mempercayai dalam kepemimpinan, harus dibedakan dengan konteks rumah tangga dan hubungan keakraban lainnya. Di samping itu, mempercayai dan menolak mempercayai seseorang, harus dilakukan dengan setulus mungkin, sehingga berdampak positif bagi diri dan kepemimpinan. Mempercayai seperti ini berarti memperhitungkan dampak dari peran serta yang aktif dalam kepemimpinan dengan batasan-batasannya. Tidak mempercayai juga berhubungan dengan memperhitungkan peran serta dalam kepemimpinan, dampak dan batasannya. Dalam kaitan ini mempercayai dan tidak mempercayai dibangun di atas kesadaran akan kemanfaatan positif maupun negatif. Pemimpin dalam hal ini bisa terjebak dengan membangun pendekatan di atas preferensi suka tidak suka yang dapat menciptakan sikap pilih buluh, mencipta anak emas. Pelajaran dapat diambil dari Yesus Kristus yang tahu mengapa ia mempercayai dan tidak mempercayai. Ia kenal Petrus sebagai orang yang mendua hati, bercabang lidah, walaupun dekat dengan DIA. Ia tahu, Yudas adalah koruptor. Ia kenal Yohanes yang lemah lembut, Ia tahu Yudas Selotis yang militan. Ia tahu semua, dan tatkala ia mempercayai dan atau tidak mempercayai, Ia memiliki alasan tersendiri, dan Ia adalah penentu batas-batasnya.
  1. MEMPERCAYAI ITU ADA AKIBATNYA, ADA GUNANYA. Mempercayai dan tidak mempercayai itu ada resikonya. Apabila seorang pemimpin mempercayai orang yang salah karena ia sesungguhnya penjilat, pemimpin sendirilah yang akan menuai resiko mempercayai seperti ini. Dan lagi, dalam hal pemimpin tidak mempercayai, tetapi orangnya benar-benar layak dipercayai, maka resiko tidak mempercayai juga akan nampak dalam kinerjanya, dimana ia telah mengambil kesimpulan yang juga kurang tepat. Jadi seorang yang bijak akan tahu sejauh mana ia harus percaya dan tidak mempercayai. Dengan demikian, Anda harus menentukan dan menjaga jarak yang pas bila Anda percaya dan tidak percaya, sambil memperhitungkan akibatnya. Orang di sekitar Anda datang dengan mental beragam. Dari sisi moral, ada yang bermental baik dengan karakter yang menyenangkan, ada yang merupakan orang sulit atau “difficult person” dalam organisasi, yang selalu berorientasi negatif. Disamping itu, ada orang yang mencari pengaruh, ada yang cuma iseng, ada yang mau cari untung, ada yang mau populer. Dari sisi kerja, ada yang bermental kuli yang pasif dan sangat bergantung pada pemimpin. Ada juga yang bermental pegawai yang kurang inisiatif dan bekerja untuk memperoleh gaji. Ada pula yang bekerja  dengan mendompleng organisasi sebagai jembatan belaka, dan ada yang bekerja dengan komitmen tinggi membawa keuntungan. Bagaimana Anda mempercayai mereka seperti ini? Anda harus bertanya, “apa gunanya orang ini ada di sekitar saya?” Di sini Anda harus memperhitungkan azas kegunaan atau kemanfaatan setiap individu yang Anda percayai atau menolak mempercayai. Ingatlah, bila Anda mempercayai seseorng tentu ada gunanya maupun tidak ada gunanya, sehingga Anda perlu memperhitungkan faktor “mengapa” dibalik sikap serta keputusan Anda untuk mempercayai dan atau tidak mempercayai.
  1. MEMPERCAYAI ITU HARUS MEMBAWA MANFAAT KEPEMIMPINAN. Mempercayai itu bukan saja ada resikonya, tetapi Anda harus memilih resiko mana yang Anda inginkan dari seseorang yang Anda percayai. Anda harus terus bertanya, apakah untungnya dan apa ruginya mempercayai dan tidak mempercayai seseorang? Secara kepemimpinan, ada seseorang yang terlihat sebagai tidak layak dipercayai, tetapi ternyata ia membawa kemanfaatan (keuntungan) bagi organisasi. Orang ini terbukti lebih baik dari pada mempercayai seseorang yang terlihat dapat dipercayai tetapi tidak membawa manfaat (untung) sama sekali. Dalam kaitan ini pemimpin haruslah menetapkan sejauh mana akan ada kemanfaatan/ keuntungan bagi organisasi, apabila ia mempercayai seseorang dan tidak mempercayai yang lainnya. Di sini tidak ada maksud untuk mendorong mengembangkan sikap mencurigai atau mengadili dan memutuskan siapa yang layak dipercaya dan siapa yang tidak. Tetapi, prinsip ini lebih cenderung berhubungan dengan upaya mendorong sikap bertanggung jawab untuk mempercayai. Tujuan dari prinsip ini ialah bahwa dengan mempercayakan tanggung jawab lebih kepada orang yang dipercayai, akan berdampak membawa keuntungan lebih kepada organisasi dan kepemimpinan yang sedang diemban, mau pun bagi diri pemimpin, dan orang yang dipercayai dimaksud.
  1. SIAPA YANG LAYAK DIPERCAYAI. Ini pertanyaan penting untuk dijawab oleh setiap pemimpin. Pemimpin yang arif tentu akan memakai hati untuk menakar, dan menimbangkan segala sesuatu (Yesaya 32:8; Yakobus 3:13-18; Efesus 5:15; I Raja-raja 3:18-28). Kearifan yang menggunakan hati adalah penting dalam mengambil keputusan apakah ia mempercayai ataukah tidak mempercayai seseorang. Ada beberapa landasan untuk membuat keputusan tentang percaya-mempercayai dalam kepemimpinan.
  2. a. Prinsip Integritas. Prinsip ini menegaskan bahwa seseorang yang memiliki integritas adalah orang yang dapat dipercaya (Keluaran 18:21), yaitu dia yang berpikir benar, berkata benar dan bertindak benar serta mempertahankan sikap ya adalah ya, tidak adalah tidak (Filipi 4:5,8; I Timotius 6:11; Efesus 5:9; 4:1-6; I Korintus 6:9-10).
  3. b. Prinsip Tanggungjawab Bertujuan. Prinsip ini menegaskan bahwa pemimpin bertanggung jawab atas semua dan seluruh kehidupan organisasinya. Karena itu, setiap pertimbangan untuk melibatkan orang yang dipercaya atau pun tidak, haruslah dilakukan dengan penuh hikmat, sehingga dapat menghasilkan keputusan yang sehat dalam mempercayai atau menolak mempercayai siapa pun (I Korintus 10:31).
  4. c. Prinsip Kemanfaatan. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap keputusan untuk mempercayai harus mempertimbangkan kemanfaatan yang utama dan lebih besar, yaitu membawa kefaedahan bagi organisasi, bukan bagi diri. Pemimpin harus menghindari orientasi mempercayai untuk mencari serta memperoleh dukungan. Di sini pemimpin dituntut untuk berbesar hati menetapkan mempercayai demi kepentingan yang lebih besar, bukan mempercayai demi kepentingan diri. Sikap seperti ini akan membawa imbasan besar yang meneguhkan organisasi, sehingga semua orang dalam kepemimpinan akan memperoleh manfaat dari keputusan pemimpin (Yakobus 2:1,8-9; I Korintus 10:23).
  5. d. Prinsip Kelayakan. Prinsip ini menegaskan siapa sesungguhnya yang layak dipercayai. Di sini pemimpin harus mempertimbangkan banyak faktor tentang siapa yang layak mau pun tidak layak untuk dipercayai itu. Dalam kaitan ini, pemimpin perlu memperhatikan faktor pembuktian diri dari setiap individu yang ada di sekitarnya (I Timotius 5:17). Pemimpin sering terkecoh oleh penjilat, atau menyangka bahwa ia memperoleh dukungan tatkala semua dan seseorang mengatakan ya, diam atau pun mengangguk. Semua ini mengandung seribu makna, jadi pemimpin perlu berhikmat menyikapinya. Pemimpin perlu menyadari bahwa sesungguhnya kuasa kepemimpinan yang ada padanyalah yang menyebabkan orang menjadi penjilat, munafik atau pun taat. Dengan demikian, adalah penting bagi pemimpin untuk memperhatikan sejauh mana dan sesejati apa seseorang membuktikan diri dan layak dipercayai.
  6. e. Prinsip Keberlanjutan. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap keputusan untuk mempercayai haruslah dibangun di atas perspektif berkelanjutan (II Korintus 4:18). Perspektif ini menunjuk ke depan yang menekankan bahwa apa pun yang dilakukan, haruslah mempertimbangkan dampak dan efek serta eksesnya yang berkelanjutan di hari depan. Pemimpin perlu terus mempertanyakan apakah keputusan mempercayai ini membawa kebaikan panjang yang positif ataukah tidak, pada masa depan. Pemimpin yang arif sajalah akan membuat keputusan untuk mempercayai dan mempercayakan diri kepada siapa pun. Kearifan ini sajalah yang akan membawa sejahtera yang bersinambung dalam soal percaya mempercayai (Yesaya 32:1-2, 8, 17). Pemimpin tidak harus terkecoh kepada keyakinan salah tentang keabadian percaya mempercayai. Tetapi, pemimpin bertanggung jawab untuk menetapkan sejauh mana ia harus mempercayai seseorang. Percaya-mempercayai ini harus dipertimbangkan dengan bertanya, “ini atau itu adalah untuk kepentingan yang mana, hasil macam apa, pada situasi yang mana, karena ia bertanggungjawab atas kepemimpinan yang dipercayakan kepadanya. “

Selamat mempercayai dan tidak mempercayai demi keberhasilan kepemimpinan!!!

Salam dan doa,

Dr. Yakob Tomatala

You might also like
1 Comment
  1. Recky Mugama says

    Good Articel Pak Yakob>
    God bless you

Leave A Reply

Your email address will not be published.