REFLEKSI KEPEMIMPINAN: BELAJAR DARI PENGALAMAN DISAKITI, APAKAH PANTAS BAGI PEMIMPIN UNTUK MEMBALAS BILA TERSAKITKAN
“Berbahagialah kamu, jika kamu dinista …..” (I Petrus 4:14a).
PENGANTAR
Kehidupan adalah suatu proses, yang dahulu dilukiskan sebagai suatu pengembaraan. Pelukisan ini ada benarnya, dimana sebagai anak manusia, kita semua sedang mengembara, berkelana menjalani kehidupan di bumi di mana kita berada. Salah satu dari sekian banyak pengalaman yang dominan dalam pengembaraan kita yang sangat mempengaruhi dari sisi negatif ialah “pengalaman disakitkan” atau “pengalaman perendahan.” Menyikapi pengalaman seperti ini dalam pengembaraan hidup, hal yang perlu untuk meneguhkan kita menjalani pengembaraan sebagai pemenang adalah “belajar dari hidup tentang hidup untuk hidup.”
Belajar dari hidup tentang hidup dan untuk hidup dapat dilakukan dengan mengadakan retrospeksi dan introspeksi secara retroaktif untuk memaknakan arti kehidupan dari suatu pengalaman yang akan memberikan nilai tambah bagi hidup. Dalam hubungan ini, patutlah ditanyakan, apakah Anda pernah mengalami perendahan dari seseorang atau dari sekelompok orang? Misalnya Anda difitnah, Anda di hina atau dilecehkan, sekali pun Anda melakukan apa yang Anda anggap benar?
Apa sesungguhnya yang Anda rasakan pada saat-saat seperti ini? Adakah mudah bagi Anda untuk tersenyum menghadapi perendahan ini? Bukankah harga diri Anda sedang dirong-rong, dikoyak-koyakkan? Anda kan sedang tersakiti! Bagaimana kalau Anda membalas dengan merendahkan dia atau mereka yang melecehkan Anda? Bukankah Anda juga mempunyai hak untuk melakukan apa pun jika orang menista dan merendahkan Anda? Apalagi Anda sedang mengerjakan apa yang dianggap benar dan lagi, yang Anda lakukan adalah demi kepentingan organisasi serta banyak orang? Sekarang simaklah, bagaimana Anda menikmati perendahan itu sebagai seorang pemimpin:
1. DISAKITKAN, APAKAH ANDA MEMBALAS JAHAT DENGAN JAHAT. Marilah kita renungkan. Setiap kita secara pribadi mempunyai hak untuk mempertahankan diri. Di sini dapat dikatakan bahwa adalah pantas bagi Anda untuk membela diri bahkan melakukan pembalasan terhadap siapa saja yang menyakitkan Anda.
Dan lagi, biasanya kalau Anda membalas, Anda akan merasa “plong begitu” karena karena Anda merasa impas bukan? Pada sisi lain, tidak membalas akan menanamkan “rasa kalah” yang juga akan merong-rong hidup Anda. Namun, Anda adalah seorang pemimpin! Apakah pantas bagi Anda untuk membalas jahat dengan jahat? Kalau Anda berdiam diri, bukan itu sikap yang merugikan? Sekarang, kalau Anda pernah mengalami perendahan, pertanyaan-pertanyaan di atas tentu dapat menguakkan luka lama yang menyakitkan karena pengalaman perendahan yang Anda alami itu. Namun, “mau tidak mau, Anda perlu menyikapi pengalaman perendahan ini, karena Anda adalah seorang pemimpin.” Melihat pengalaman seperti ini, apa sesungguhnya sikap yang harus ada pada kita? Bob Weiland mengatakan, “Rasa sakit itu muncul ketika Anda menegok ke belakang.”
Bagaimana memaknakan pengalaman seperti ini yang olehnya Anda dapat menempatkan diri sebagai pemenang atas pengalaman tersakitkan ini? Menjawab pertanyaan ini, ada beberapa sikap dasar yang harus diambil. Pertama, membalas “jahat dengan jahat” tidaklah selaras dengan kehendak TUHAN Yesus (Matius 5:38-45). Dapatlah ditegaskan, apa saja yang tidak selaras dengan kehendak TUHAN adalah dosa (Roma 14:23b). Kalau begitu, janganlah membalas jahat dengan jahat. Kedua, membalas “jahat dengan jahat” adalah tindakan yang merugikan diri sendiri, karena kita tergoda oleh kemauan orang yang menyakitkan kita, sehingga kita turut kehilangan kemuliaan (Roma 3:23; 14:13-18; Amsal 3:4). Ketiga, membalas “jahat dengan jahat” membuat kita terlilit rantai kejahatan (Matius 7:12).
Rahasia pembebasan dari belenggu ini adalah “mengampuni” sesuai ajaran TUHAN (Matius 6:12a; 18:21-35). Keempat, membalas “jahat dengan kebenaran dan kebaikan” menempatkan kita sebagai pemenang yang memiliki kesaksian bahwa “kita adalah anak-anak terang” yang menang atas kejahatan (Roma 12:19-21; Efesus 5:8-21). Kelima, membalas “kejahatan dengan kebenaran” akan membawa damai sejati bagi diri dan orang lain (Yesaya 32:17).
2. DISAKITI, INI SESUNGGUHNYA SUATU PENGALAMAN LANGKA. Kalau bawahan disakiti dan tersakitkan, ini adalah hal biasa, karena ia tidak memiliki kuasa.[1] Bawahan yang disakitkan adalah sesuatu yang lumrah, karena ia ada pada kedudukan yang lemah, sehingga ia rentan tersakitkan oleh atasannya baik secara sengaja, atau pun secara tidak sengaja. Bawahan yang tersakitkan secara sengaja karena pemimpin menetapkan untuk menindakinya, atau memberikan teguran (reprimend) karena pelanggaran atau ketidak-disiplinan serta alasan lainnya. Bawahan pun dapat tersakitkan secara tidak senganja oleh atasan, mau pun rekan sejawatnya, karena berbagai alasan. Misalnya, sikap dan kata-kata pemimpin dapat membuat bawahan merasa tersinggung dan tersakitkan. Jadi adalah tidak mengherankan kalau bawahan tersakitkan dan menjadi pesakitan secara umum.
Namun, apabila pemimpin tersakitkan, ini sesungguhnya adalah pengalaman langkah baginya. Mengapa ini adalah pengalaman langkah? Pemimpin yang tersakitkan adalah pengalaman langkah karena pemimpin memiliki kuasa kepemimpinan yang olehnya ia dapat melakukan apa saja, termasuk membela diri dan menghukum bawahan atau siapa pun yang menyakitinya. Pada sisi lain, pemimpin yang tersakitkan dan balas menyakitkan, sedang menunjukkan “kekerdilan dirinya” sebagai pemimpin.[2] Jadi, pemimpin harus membuka hatinya untuk mencerna makna dari pengalaman tersakitkan ini, karena ini pengalaman langka dan unik yang tidak bakal terulang.[3] Pengalaman seperti ini tentu memiliki makna yang spesial bagi setiap pemimpin yang menghendaki menjadi arif yang akan bermanfaat bagi diri dan kepemimpinannya.
3. DISAKITI, MERUPAKAN SUATU PELUANG BERHARGA UNTUK REFLEKSI DIRI. Pemimpin yang arif perlu menyikapi pengalaman disakitkan sebagai suatu peluang refleksi diri. Pengalaman disakiti yang dijelaskan sebagai peluang refleksi diri ini menjelaskan bahwa pemimpin yang tersakitkan harus mengadakan retrospeksi dan introspeksi diri untuk menjawab pertanyaan, apa yang sedang terjadi dengan dirinya? Setiap pengalaman interaktif dengan sesama, akan merefleksikan kondisi pengaruh timbal balik yang menarik. Pengalaman ini dapt diuraikan sebagai berikut: Pertama, Apabila pemimpin berniat baik, melakukan hal benar, adil dan diniatkan bagi kepentingan kepemimpinannya, ia bisa disalah mengerti, difitnah oleh mereka yang tidak menyukainya.
Pemimpinyang berniat baik seperti ini harus menyadari bahwa ia ada pada jalan benar. Ini dapat menjadi petanda ia sedang maju, karena pemfitnahan baginya akan lebih meneguhkannya secara positif, khususnya ia akan terbukti benar pada akhirnya, karena “Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya” (Amsal 11:3a). Kedua, Seandainya pemimpin tidak sengaja melakukan sesuatu sehingga ia memperoleh reaksi negatif, maka ia harus berupaya untuk mengkaji, sejauh mana kekeliruan atau pun kesalahan yang ditimbulkan oleh tindakannya. Cara ini dapat menolongnya untuk belajar memperbaiki dirinya. Ia dapat belajar mengatakan apa pun secara terencana dan bertanggung jawab (Pengkhotbah 10:12).
Berdasarkan pengalaman ini, pemimpin yang berhasrat baik untuk meneguhkan diri dan kepemipinannya akan memililih untuk mengubah dirinya ke arah yang positif, agar ia dapat mengubah orang lain. Ketiga, Seandainya pemimpin sengaja melakukan tindakan negatif, ia tentu harus bertobat. Penekanannya ialah karena seorang pemimpin yang bersikap negatif akan menuai dampak negatif dari tindakannya (Matius 7:12). Namun, kalau sang pemimpin mau menjadi arif, ia harus berhenti untuk bersikap negatif, karena sikap negatif hanya menggambarkan “kekonyolan dirinya” sendiri (Amsal 13:6b; Pengkhotbah 10:8). Jadi, periksalah diri, di mana Anda berada, sehingga dapat bebenah diri menjadi pemimpin arif yang memberkati!
4. DISAKITI, MENOLONG MEMBUKTIKAN KEDEWASAAN KETAHANAN INTEGRITAS. Adalah tidak mengenakkan bila tersakiti sebagai seorang individu apa lagi sebagai seorang pemimpin. Persakitan ini dapat melukai jiwa, menggerogoti damai dan menghilangkan sukacita. Dalam hubungan ini, kalau Anda adalah seorang yang rendah diri, Anda akan semakin terganggu, Anda meradang dan siap untuk bereaksi membalas untuk membuktikan bahwa kalau orang lain bisa melukai, Anda juga bisa balas melukai. Sendainya kalau Anda orang yang percaya diri, Anda bisa saja bersikap santai, tidak peduli, bahkan mengabaikan perendahan yang Anda terima.
Namun, biasanya tidak seperti ini. Siapa pun Anda, Anda akan merasa terganggu oleh perendahan dan penghinaan orang yang menyakitkan Anda, walau pun derajat ketergangguan ini berbeda pada setiap individu. Derajat ketergangguan seseorang sesungguhnya tergantung sepenuhnya pada kemampuan membuktikan kedewasaan diri (I Korintus 3:1).
Kalau Anda seorang yang dewasa, Anda akan bersikap seperti Rasul Paulus, “Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah;” (I Korintus 4:12b-13a). Mengapa sikap seperti ini adalah penting bagi para pemimpin? Sikap seperti ini penting, karena dengannya pemimpin membuktikan bahwa ia adalah pemimpin rohani (I Korintus 3:1-9; Galatia 5:16-26; 6:1-10) yang yang hidup seperti TUHAN-nya (I Yohanes 2:6), dewasa dan memiliki integritas diri yang kuat.
Pemimpin yang dewasa dan memiliki integritas diri yang kuat akan memuktikan bahwa ia adalah pemimpin yang memimpin dari hati (Yesaya 32:8), mengutamakan kasih Kristus (II Korintus 5:13-14: Yohanes 13:1-2, 34-35); dan membuktikan bahwa ia adalah pemimpin rendah hati karena ia belajar dari Kristus (Matius 11:28-130; Filipi 2:1-11; Bilangan 12:3) yang memimpin dalam kebenaran dan kebaikan. Di sini ia meneguhkan kehidupannya dengan hidup dalam kebenaran dan kebaikan (Filipi 4:5, 8) sehingga ia dapat memimpin secara benar, jujur, adil dan membawa sejahtera bagi orang yang dipimpin, lingkungan dan dirinya (Yesaya 32:1-2; 17; I Petrus 5:1-4; Ibrani 13:7, 17).
5. DISAKITI, ADA BAIKNYA SEBAGAI ANUGERAH BAGI PENGHORMATAN ABADI. Menengok uraian pada poin-poin di depan, dapat dikatakan bahwa “pengalaman disakitkan sebagai seorang pemimpin sesungguhnya sangatlah berharga bagi dirinya.” Pengalaman seperti ini sangatlah berharga, karena ini adalah langka bagi pemimpin, dan juga merupakan sesuatu anugerah TUHAN yang membawa kebaikan tertinggi bagi dirinya. Alasan kuat untuk pernyataan ini adalah: Pertama, kehidupan ini adalah anugerah TUHAN (II Korintus 4:1-18) yang olehnya bila pemimpin menyikapi perendahan bagi dirinya sebagai anugerah Allah, maka ia akan mengalami kebaikan dari sikapnya ini.
Ia akan siap belajar untuk membuat refleksi diri, “jangan-jangan sifat, sikap, pikiran, perasaan, kehendak, kata, dan tindakan saya yang menjadi pemicu perendahan dari orang lain.” Kalau begitu, “saya harus membenahi diri, berpikir benar, baik, sehat dengan mengatakan kebenaran menggunakan cara yang benar, sehingga kebenaran mendarat di hati orang, yang olehnya orang diberkati dan balas memberkati.” Kedua, pengalaman perendahan yang disikapi sebagai anugerah TUHAN menyebabkan pemimpin menjadi lebih dewasa dan tahan banting.
Pemimpin yang dewasa akan lebih peduli dengan orang lain, ia lebih mendahulukan kebenaran dari kepentingan diri, ia akan lebih memperjuangkan kepentingan organisasi. Sikap ini akan meneguhkan kepemimpinan yang indikatornya; “akan ada kesatuan, persatuan dan sejahtera yang terbagi untuk semua pihak.”
Pemimpin dewasa yang tahan banting akan menyikapi perendahan yang akan datang nanti sebagai “hal biasa, bukan luar biasa” karena ia tahu akan ada manfaat baginya, dan akan ada jalan keluar yang hebat dari TUHAN yang akan memberkatinya (I Korintus 10:13). Pemimpin yang mengalami pengalaman tersakitkan dan menyikapinya secara dewasa, membuktikan bahwa ia mendahulukan kehendak Allah (tidak membalas jahat dengan jahat); ia membuktikan diri sebagai pemimpin rohani (yang memimpin dari hati, berlandaskan kasih dari kekuatan kebenaran kebaikkan), dengan memperjuangkan kepentingan yang lebih besar dari dirinya (kepentingan organisasi) sehingga ia menjadi pemimpin yang memberkati banyak orang. Ini adalah pemimpin sejati, pemimpin arif yang tahan banting dalam kondisi apa pun menyiarahi pengembaraan hidup dan kepemimpinannya, yang akhirnya ia dihormati Allah dan manusia (Amsal 3:4; Daniel 12:3).
PRINSIP MENYIKAPI PERENDAHAN DALAM KEPEMIMPINAN:
Berdasarkan uraian di atas, kita tentu dapat belajar bahwa kenyataan pemimpin yang disakitkan ini adalah suatu pengalaman langka, peluang refleksi diri, anugerah Allah, tanda kedewasan serta penghormatan abadi. Pada sisi lain, jika TUHAN Allah berfirman: “Berbahagialah kamu, jika kamu dinista …..” (I Petrus 4:14a)., tentu IA memiliki maksud abadi dari penistaan yang dialami oleh anak-anak-Nya. Kalau begitu, pemimpin sejati yang arif yang dapat menikmati perendahan sebagai kebahagiaan, harus menyikapinya secara bijaksana. Dalam hal ini, pemimpin harus menyikapi perendahan dengan menggunakan sikap mulia, sikap anggun yang olehnya ia menikmati berkatnya dan siap memberkati orang lain. Alasan kuat bagi sikap mulia yang memberkati dari pengalaman perendahan ini dapat dilihat pada:
- Contoh agung dari pemimpin berhati mulia yang tidak bergeming walau pun mengalami penghinaan, dapat dilihat dari kehidupan Yusuf yang tidak mendendam (Kejadian 37; 45), Musa yang memberkati walau pun dihina (Bilangan 12), dan Daud yang tidak membalas kejahatan dengan kejahatan sekapi pun ada perendahan atas dirinya (I Samuel 24:5-8; 26:7-11; II Samuel 16:5-14). Sikap inilah yang menjelaskan apa dan mengapa perendahan itu adalah suatu berkat TUHAN yang melengkapi pemimpin untuk membuktikan diri sebagai pemimpin arif yang memberkati orang lain.
- Pemimpin yang menyikapi perendahan dengan menolak membalas jahat dengan jahat, adalah pemimpin yang keberkatan, karena ia pasti diberkati dengan mendahulukan kehendak Allah (Kejadian 12:1-3; Ulangan 28:1-14), mempertahankan harkatnya sebagai pemimpin rohani (Galatia 6:1), dan memperjuangkan kepentingan orang lain, bukan mempertahankan dirinya (Matius 16:24-26), sehingga ia tidak kehilangan apa-apa. Ia malahan memperoleh semuanya, yaitu bumi (Matius 5:5)
- Pemimpin yang menyikapi perendahan sebagai peluang anugerah dari TUHAN Allah adalah dia yang akan bertahan ke akhir, sekali pun yang lain berguguran. Sikap ini meneguhkan pemimpin untuk menjalani pengembaraan hidup dan kepemimpinannya dengan menerapkan prinsip keabadian dari perendahan sesuai dengan maksud mulia dari TUHAN. Hal ini dapat terjadi karena pemimpin menyadari bahwa penderitaan akibat perendahan itu berakhir pada TUHAN yang dapat memanfaatkan segala seuatu dengan bekerja di dalamnya bagi kebaikan orang yang mengasihi DIA (II Korintus 4:16-18; Roma 8:28).
- Apakah Anda mempunyai pengalaman seperti ini? Berbahagialah Anda dengan menyikapinya secara benar, baik dan sehat, sehingga TUHAN Allah dimuliakan (Roma 11:36); dan Anda telah siap menjadi berkat bagi dunia di mana TUHAN menempatkan Anda.
Selamat menyikapi perendahan secara benar demi keberhasilan kepemimpinan!!!
Salam dan doa,
Dr. Yakob Tomatala
[1] Lihat konsep Kuasa Kepemimpinan yang telah diuraikan sebelumnya dalam web ini.
[2] Lihat contoh Yesus Kristus yang tersakitkan oleh penghianatan Yudas Iskariot, namun ia tidak balas menyakiti Yudas, Ia bahkan membiarkan diri disakiti oleh penghianatan itu, ia menikmatinya. Lihat juga pengalaman Raja Daud yang dikutuki Simei dalam II Samuel 16:5-13.
[3] Kalau sang pemimpin adalah orang sulit dan suka menyakitkan sebagai bagian dari karakter, sifat dan caranya, maka tidak usalah diherankan bahwa ia akan memperoleh reaksi setimpal atas kebiasaannya, dimana kepemimpinannya akan ditandai oleh situasi galau, kacau dan tidak menyenangkan (Matius 7:12).