TUHAN DAN COVID-19 “Suatu Diskursus Pengantar Berteologi”
FIRMAN TUHAN:
“Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang” (Kolose 4:6; I Petrus 3:15-16)
Catatan: Ayat-ayat di atas ini adalah dasar bagi Teologi Apologetika. Dalam hubungan dengan diskursus Pengantar Teologi ini, maka setiap pengguna harus bertanya, “siapa yang berhak memakainya, bagaimana menerapkannya dan digunakan untuk apa serta kepada siapa?”
Pengantar
Berbicara tentang TUHAN Allah, dapat dianalogikan dengan empat orang buta yang memegang sesuatu dari seekor gajah (ekor, kaki, badan dan belalai) dan masing-masing mempercayai, menjelaskan serta mempertahankan apa yang mereka pegang sebagai kebenaran tentang sang gajah.
Dalam kaitan ini, mereka akan mempercayai, menjelaskan dan mempertahankan “apa yang mereka pikir” bahwa itu dan ini adalah segalanya tentang gajah. Apa yang terjadi? Mereka masing-masing benar, karena gajah memiliki ekor, kaki, badan dan belalai.
Namun mereka tidak benar semuanya, karena gajah tidak sekedar ekor, kaki, badan atau belalai. Gajah ternyata memiliki diri yang “lebih lengkap” dari apa yang dapat dipahami, dipercayai, dijelaskan dan dipertahankan.
Dengan analogi ini, dapat diajukan pertanyaan, “Apa dan bagaimana menjelaskan hubungan TUHAN ALLAH dan Covid-19?” Mengapa TUHAN seolah membiarkan Covid-19, serta seolah tidak mendengar doa dan mengatasinya bagi orang Kristen?
Sudah lama Steven Covey mengangkat pertanyaan sementara orang Kristen yang bertanya tatkala menghadapi ancaman hidup: “Apakah TUHAN menyembunyikan diri, tidak mau mendengar doa, bahkan tidak adil dan membiarkan orang Kristen menderita?” Dalam upaya menjawab pertanyaan ini, maka ada beberapa hal yang dapat direnungkan.
Pertama, TUHAN ALLAH YANG BERDAULAT DAN CARA MEMAHAMI DIA
TUHAN Allah Alkitab adalah berdaulat, yaitu “Allah yang ADA dan ber-ADA dengan sendiri-Nya serta IA-lah sumber dan penyebab azali dari semua yang telah ada, sedang ada dan yang akan ada.”
TUHAN Allah yang berdaulat adalah kekal abadi, Yang ESA, yang menyatakan diri sebagai TUHAN Allah – FIRMAN Allah – ROH Allah, Tritunggal yang ESA.
TUHAN Allah yang ESA, memiliki kehendak yang berdaulat, yang sama selaras dalam diri-Nya, kehendak-Nya, dan tindakan-Nya Yang sempurna.
TUHAN Allah yang berdaulat menyatakan hakikat-Nya (substansi, esensi, dan eksistensi) yang kekal dengan atribut-Nya yang Maha Sempurna dan Tindakan-Nya yang Maha Lengkap, yang menggungkapkan kesempurnaan diri-Nya.
TUHAN Allah adalah Maha Benar, Maha Adil, Maha Baik dan Maha Kasih Yang dinyatakan-Nya dalam kesempurnaan diri serta penyataan-Nya pada lintasan sejarah.
TUHAN Allah yang Maha Sempurna hanya dapat dipahami melalui penyataan diri-Nya (self revelation) yang sempurna untuk dan demi dipahami secara lengkap.
A. TUHAN Allah yang menyatakan diri
Melihat kebenaran tentang hakikat TUHAN Allah yang diuraikan sebelumnya, maka dapat ditegaskan bahwa TUHAN hanya dapat dipahami melalui penyataan diri-Nya (Self Disclosure) dan pernyataan-Nya (Self Discourse).
Pernyataan dan pernyataan TUHAN adalah sesuai kehendak-Nya yang berdaulat, yang dikerjakan-Nya melalui ROH-Nya yang Kudus, yang dinyatakan-Nya di dalam dan melalui konteks faktual (konteks hidup, konteks peradaban, sejarah, kebudayaan dan masyarakat serta konteks kerterjadian dan konteks perbahasaan serta pengalaman iluminatif) untuk dipahami secara benar dalam situasi kekinian sejarah masa lampau, di mana IA menyatakan diri dan berfirman kepada Para Nabi, Penulis dan Umat-Nya.
Puncak penyataan diri TUHAN Allah adalah TUHAN Yesus Kristus, FIRMAN Allah yang Kekal yang menjadi Manusia Kristus, yang berinkarnasi berkenosis secara kontekstual (Yohanes 1:1-18; Ibrani 1:1-4; Filipi 2:1-11), sebagai Penyataan Diri-Nya yang sempurna lengkap, dan tertinggi, serta terakhir (Wahyu 22:18-19).
B. Cara MANUSIA memahami TUHAN Allah
TUHAN Allah yang berdaulat dalam penyataan-Nya (revelation) bekerja di dalam dan melalui konteks kehidupan manusia. Penyataan TUHAN ini diwujudkan melalui penyataan-Nya (Self Disclosure) di mana IA membuka Diri kepada umat-Nya dalam konteks nyata, seperti kepada Adam, Nuh, Abraham, Samuel, Hakim-hakim, Saul, Daud, Salomo, Para Nabi, dan Para Rasul.
Pernyataan Diri TUHAN selalu disertai dengan Pernyataan-Nya (Sabda-Nya, Discourse-Nya), guna menyampaikan kehendak-Nya yang khusus pada situasi khusus, dengan cara yang kontekstual untuk dipahami secara nyata dalam konteks kehidupan penerima Firman yang disampaikan-Nya.
Dalam kaitan ini, cara penerima Sabda memahami TUHAN Allah adalah kontekstual, yang melibatkan “worldview, konsep, nilai dan cara pandang” yang juga kontekstual.
Sejalan dengan ini, cara memahami TUHAN Allah yang kontekstual juga menjelaskan bahwa penerima Firman Allah terkondisi oleh kebudayaan-Nya, sehingga perspektif pemahaman Sabda selalu antroposentris, antroposelfis, dan antropografis, yang nyata serta tampak melalui penulisan dan tulisan atau teks-teks suci dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Dari sini, para pembaca dan penafsir Alkitab harus mendekati Alkitab dengan bertanya, “Apa maksud kekal TUHAN Allah melalui teks Firman-Nya dalam suatu konteks sejarah di mana IA bersabda?
Bagaimana penerima atau penulis Firman memahami dan menulis Sabda TUHAN yang diterimanya dalam konteksnya? Apa konteks sejarah, budaya, masyarakat, dan peristiwa khusus di sekitar teks yang disabdakan-Nya?
Apa maksud TUHAN Allah yang tertuang dalam teks (bahasa) dengan perbahasaan (cara membahasakan) yang digunakan penerima atau penulis Firman dalam konteksnya?” Pertanyaan-pertanyaan ini dan jawabannya adalah cara memahami TUHAN Allah melalui teks-teks suci, dalam cara yang sepatutnya.
C. Kesepakaan dan ketidak sepakatan orang Kristen tentang TUHAN Allah
Berdasarkan observasi, kesepakatan dan ketidak sepakatan orang Kristen dalam berteologi tentang TUHAN Allah, didasarkan atas fakta berikut:
1) Pendekatan berteologi yang antropomorfisme, sehingga perbahasaan tentang TUHAN Allah terikat dengan analogi manusia yang digunakan untuk berbicara menjelaskan tentang TUHAN Allah seperti manusia (berteologi yang antropomorfisme);
2) Orientasi berteologi yang sudah berakar dan terpola dalam sejarah kekristenan, yang memperlihatkan adanya perbedaan ajaran (doktrin), cara pandang, tekanan dan sikap ortodoksi dan ortopraksis yang ketat;
3) Cara berteologi yang memberdaulatkan atau memutlakan ajaran (Doktrin atau Dogmatika) tentang TUHAN Allah bukan tentang TUHAN Allah, siapa DIA dan apa DIA ada-Nya sesuai Alkitab;
4) Pendekatan berteologi yang “antropologisme,” sebagai cara yang bertentangan dengan pendekatan berteologi yang “teologisme,” yang bertitik tumpuh awal pada TUHAN Allah sesuai kesaksian Alkitab tentang Penyataan dan Pernyataan Allah, bukan apa dan bagaimana pemahaman sektarian tentang TUHAN;
5) Kebiasaan berteologi yang tidak membedakan Teologi sebagai Ajaran (Teologi Dogmatika) yang sudah dipatrikan, diterima, dan diajarkan yang dipertahankan mati-matian, dan Teologi sebagai Ilmu (Teologi Ilmu dan atau Ilmu Teologi), yang terbuka bagi diskursus (discourses, dialogues, debating, etc) tentang fakta (premis) Alkitab dengan metodologi dan metode ilmu yang standar, berlandaskan Filsafat Ilmu (Scene of Philosophy, bukan Philosophy Science) untuk menemukan dan menetapkan proposisi (rumusan penyimpulan) teologi;
6) Ketidak pedulian yang tidak dapat membedakan “bahasa Iman” atas ajaran yang cenderung dimutlakkan, dan dipertahankan mati-matian, dibanding dengan “bahasa Teologi” sebagai ilmu yang mengandung probabilitas ilmiah yang dapat disiskusikan atau didebatkan.
7) Arogansi berteologi yang cenderung membenarkan diri, membela pandangan sendiri dan mendiskreditkan orang atas nama kemurnian ajaran Kristen dan kesucian TUHAN;
8) Akhirnya, perlu ditanyakan, “siapa yang memberi hak dan ororitas atas semua ini untuk bersikap dan mengklaim atas nama TUHAN ?”
Kedua, TUHAN ALLAH YANG BERDAULAT DAN TINDAKAN-NYA YANG SEMPURNA
TUHAN Allah yang berdaulat bekerja menurut rencana-Nya yang kekal dan mewujudkannya dengan sempurna.
A. TUHAN Allah yang berdaulat bekerja menurut rencana kekal-Nya
TUHAN Allah bekerja berdasarkan kedaulatan dan rencana-Nya yang kekal dan bertujuan. TUHAN Allah yang berdaulat dalam mewujudkan rencana-Nya yang kekal, “selalu menyatakan” (dalam Alkitab) dan atau “tidak menyatakan” (hanya ada pada diri-Nya, lihat Ulangan 29:29). Sebagai contoh:
1) TUHAN Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk kebaikan umat-Nya, di mana salah satunya terlihat pada wabah Covid-19;
2) Maksud TUHAN tidak selalu dinyatakan “hitam-putih” untuk diketahui, antata lain: “Apakah wabah Covid-19 adalah hukuman dan murka TUHAN atas dosa satu atau sekelompok orang?
Apakah wabah Covid-19 adalah tanda terakhir akhir zaman? Apakah wabah Covid-19 adalah hukuman TUHAN atas orang Kristen yang tidak taat?
Apakah wabah Covid-19 adalah keputusan cara mati yang diizinkan TUHAN?
Apakah wabah Covid-19 adalah bencana yang akan menghancurkan dunia? Kalau pun Anda menjawab Anda tahu, siapa yang Memberi otoritas kepada Anda untuk bicara atas nama TUHAN?
Setiap jawaban berani atas pertanyaan-pertanyaan di atas adalah probabilitas yang kemungkinan salahnya besar, karena semua adalah rahasia TUHAN;
3) Orang Kristen diajar untuk berdoa, “kehendak-Mu jadilah, di bumi seperti di sorga,” yang ujungnya adalah kemuliaan bagi TUHAN Allah, karena itu, jangan mendahului Dia. Nantikanlah Dia yang akan bertindak pada waktu-Nya. Kenyataan dalam berteologi adalah “kita hanya mengerti kehendak TUHAN Allah yang kekal, sesudah kita mengalami pengalaman TUHAN dalam segala peristiwa, termasuk Covid-19”;
4) Orang Kristen harus berdoa, untuk berserah diri dan memohon belaskasihan serta perlindungan dan tindakan TUHAN atas ancaman Covid-19, dan TUHAN Allah yang menjamin perlindungan, dan berkusa mengadakan mujizat kesembuhan pada waktu-Nya;
5) Orang Kristen harus mempercayai TUHAN Allah, dimana percaya tidaklah sama dengan berusaha mengatur TUHAN dan cara-Nya bekerja melalui seperangkat doa, ajaran dan sikap iman, karena orang Kristen bertanggung jawab mengimani dan menanti jawaban Allah atas doanya secara sabar dan tekun.
B. TUHAN Allah yang berdaulat bekerja mengelola ciptaan-Nya secara universal, korporat dan prifat atau individu
Berdasarkan pemahaman tentang TUHAN Allah seperti yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa wabah Covid-19 adalah cara TUHAN Allah mengelola alam ciptaan-Nya, yang diwujudkan-Nya secara unik, universal untuk dialami dunia, korporat untuk dialami
kelompok masyarakat; dan partikular untuk dialami setiap pribadi.
Pemahaman cara dan maksud kerja TUHAN adalah “sesudah pengalaman berlalu” dan setiap orang memaknai serta membuat refleksi atas pengalaman Covid-19 sesuai pengalamannya, yang tidak bersifat normatif bagi orang lain.
C. Pertentangan kesetiaan berteologi yang historis
Kenyataan menunjukkan bahwa orang Kristen memiliki kecenderungan mempertahankan dan mendebatkan ajaran apa pun dari kesetiaan berteologi (theological allegiances) sesuai tradisi teologi, bukan membela kebenaran tentang TUHAN Allah “an sich” berdasarkan Alkitab.
Kesetiaan berteologi ini memiliki beberapa kecenderungan:
1) Memutlakkan Penafsiran sendiri yang seolah menggangap diri sebagai juru tafsir Alkitab yang lebih benar, lebih otoritatif, lebih berkuasa dari orang lain;
2) Seolah mengangkat diri menjadi “jurubicara” TUHAN yang memonopoli “hak berbicara atas nama Allah”;
3) Seolah mengangkat diri menjadi “nabi” untuk berbicara atas nama TUHAN;
4) Seolah mengangkat diri menjadi “hakim” untuk menghakimi atas nama Allah; menetapkan siapa benar (diri) dan siapa yang salah (orang lain)
5) Seolah kehilangan rasa kemanusiaan dan solidaritas kekristenan, dengan bertepuk dada, lupa bedoa, memohon berkat …
Akh, ini uraian yang berkepanjangan … namun, siapa yang memberi hak dan otoritas atas semua sikap ini?
KESIMPULAN
Uraian dalam diskursus ini tidak berkesimpulan, hanya mengandung keprihatinan untuk mengajak:
Pertama, Biarlah TUHAN Allah tetap TUHAN Allah, dan belajarlah untuk memahami Dia secara “an sich” Dia, siapa dan apa ADA-Nya menurut Dia dan Sabda-Nya, serta jangan mengecilkan Dia menjadi sesempit otak manusia yang karatan karena dosa.
Kedua, Belajarlah untuk tidak mengambil hak TUHAN Allah dengan memutlakan diri sebagai “nabi” yang berbicara atas nama-Nya dan atau menghakimi sebagai “hakim” yang cenderung membenarkan diri menyalahkan orang lain.
Ketiga, TUHAN Allah berdaulat dan Mahakuasa, dan IA dapat menghentikan wabah Covid-19, bahkan mengadakan mujizat sesuai kehendak-Nya, pada waktu-Nya.
Keempat, TUHAN Allah berdaulat menjawab doa dengan mengadakan mujizat atau tidak samasekali, dan semua terjadi atas kehendak-Nya, sehingga tidak ada yang berhak menghakimi sesama dengan mengambil hak TUHAN sambil mengatakan “harus terjadi” atau “tidak ada mujizat” …
Kelima, Covid-19 ada dalam tangan TUHAN Allah yang berdaulat, yang akan bertindak pada waktunya untuk menghentikan atau meneruskannya, demi mewujudkan rencana-Nya yang kekal bagi isi dunia, Anda dan saya.
Keenam, Sebisanya, janganlah menganggap diri sebagai nabi atau hakim, tetapi jadilah orang Kristen yang bijak, saleh dan setia, yang tidak menggurui atau menghakimi atas nama TUHAN.
Ketujuh, Bersiaplah senantiasa serta siaga menanti TUHAN yang akan beracara …!
Salam dan doa bagi kesehatan serta kesejahteraan dan keselamatan semua …
www.yakobtomatala.com