ASMAT, OTSUS DAN STRATEGI KEBUDAYAAN
Pengantar
Telah diuraikan dalam artikel sebelumnya bahwa kondisi OAP di Asmat adalah gambaran mengenai pengaruh kekuatan peradaban modern yang mengakibatkan terjadinya “culture shock” dan “ketergantungan ekonomi” (economy dependency) dari masyarakat lokal pada sistem ekonomi makro.
Telah dikatakan pula bahwa masalahnya tidak terletak pada OTSUS. Kondisi ini pada sisi lain tidak mungkin ditangani dengan OTSUS tanpa adanya sinergi dari “stakeholders” yang melibatkan Pemerintah tingkat Pusat, Provinsi, Daerah, Lokal dan masyarakat bawa.
Karena itu, sangatlah disadari akan perlunya suatu “strategi kebudayaan” menyikapi pengaruh kekuatan peradaban yang telah menghadirkan perubahan dahsyat pada tataran masyarakat bawa, dengan contoh masyarakat OAP Asmat.
PERADABAN – KEBUDAYAAN DAN PENGARUHNYA
Peradaban atau “civilization” dalam konteks ini dipahami sebagai dinamika kebudayaan global atau “global culture” atau kebudayaan makro dengan kekuatannya yang mewarnai, menguasai serta mempengaruhi dan mendominasi semua kebudayaan nasional, regional dan lokal dari semua kelompok masyarakat dunia.
Dalam hubungan ini, “teknologi informasi” atau IT telah menjadi instrumen peradaban yang memasuki, merasuki dan menembus tembok semua kebudayaan masyarakat dunia. IT tidaklah salah tetapi kekuatan IT telah menjadi alat peradaban global yang kekuatannya mempengaruhi dunia baik secara positif mau pun negatif.
Dapat dilihat sebagai contoh, pengaruh IT dalam masyarakat tradisional, di mana bisa saja seorang nenek suku lokal memegang HP tanpa mengetahui fungsinya. Di sini terlihat bahwa ternyata pengaruh IT telah mengubah pola pikir, pola sikap, pola hidup, pola hubungan serta nilai-nilai anutan kebudayaan di dalam masyarakat.
IT pada sisi lain telah menjadi “kendaraan kebudayaan makro” untuk masuk mempengaruhi dan mendominasi semua kebudayaan mikro pada tataran masyarakat lokal tanpa dapat dicegah kalau pun bisa dimanajemeni oleh otoritas.
Pada sisi lain, terlihat pula bahwa “kebudayaan yang adalah desain kehidupan total dari setiap masyarakat yang menjelaskan bagaimana orang berpikir, bersikap, berkata dan bertindak dalam mengelola semua sumber yang tersedia guna mempertahankan serta melanjutkan kehidupan setiap kelompok masyarakat” ternyata telah mengalami goncangan peradaban atau “civilization shaking” yang dahsyat.
Goncangan peradaban ini tejadi pada semua level akibat dari pengaruh penggunaan “teknologi informasi” dan semua instrumen peradaban modern oleh kekuatan global. Dari sudut pandang ini, dapat dipahami “mengapa kebanyakan kebudayaan masyarakat lokal tradisional terdesak oleh pengaruh peradaban global dan terdorong untuk berubah secara drastis serta mengalami demoralisasi.”
Dari sini juga terlihat adanya dampak “culture shock” yang mengakibatkan terjadinya “demoralisasi” tersebut pada level kebudayaan masyarakat lokal.
Uraian ini memperlihatkan bahwa semua elemen peradaban modern yang global mau pun nasional dan regional dapat membawa kegoncangan dan demoralisasi dalam semua masyarakat, termasuk Asmat.
STRATEGI KEBUDAYAAN DAN KEARIFAN LOKAL
“Strategi dipahami sebagai ilmu kejenderalan dengan rancangan besar dan taktik jitu yang berfungsi untuk membawa keberhasilan.”
Strategi kebudayaan pada sisi lain menjelaskan tentang “rancangan dan taktik berbasis pendekatan kontekstual dalam upaya merevitalisasi kehidupan kebudayaan masyarakat yang dilanda kekuatan akulturasi (pengaruh budaya luar) dan didominasi peradaban luar sehingga membawa demoralisasi.”
Strategi kebudayaan yang kontekstual ini mengharuskan adanya pendekatan dari bawa ke atas atau “bottom up approach (BUA).” BUA ini menjelaskan bahwa demoralisasi kebudayaan lokal hanya dapat ditangani untuk direvitalisasi dari aras lokal dengan menguatkan inkulturasi (in culture education) sebagai instrumen revitalisasi kebudayaan.
Dari sini semua stakeholders bangsa pada “upper level” harus secara empiris menjawab pertanyaan mendasar:
Pertama, “Apa sebenarnya yang terjadi di Asmat dan apa yang mereka butuhkan untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupan mereka?”
Kedua, “Apakah kebudayaan serta kearifan lokal yang mereka miliki dapat digunakan sebagai instrumen revitalisasi?”
Ketiga, “Apakah ada cara kebudayaan lokal yang dapat digunakan sebagai instrumen inkulturasi untuk menghadirkan revitalisasi masyarakat OAP Asmat?” Jawaban empiris bagi pertanyaan di atas hanya ada jika Pemerintah pada level Pusat, Provinsi, Daerah dan Lokal benar-benar “all out” TURBA – “turun ke bawah.”
Tujuan dari TURBA ini adalah untuk memahami kondisi riil masyarakat bawa di Asmat guna merancang strategi dan taktik jitu untuk membawa revitalisasi kehidupan masyarakat lokal melalui inkulturasi.
Pendekatan ini akan menolong stakeholders guna menemukan kearifan dan cara lokal dalam konteks kehidupan Asmat untuk digunakan sebagai instrumen inkulturasi menjawab masalah masyarakat Asmat secara menyeluruh atau “holistik” dan tuntas.
OTSUS DAN REVITALISASI ASMAT
Melihat dari perspektif positif OTSUS adalah “niat baik Pemerintah” untuk menjawab kebutuhan masyarakat OAP. Pada sisi lain, niat baik harus diikuti cara dan tindakan baik dalam mengimplementasi OTSUS sehingga kemanfaatannya menyentuh masyarakat bawa OAP.
Dari sini timbul pertanyaan, apakah Pemerintah memiliki strategi penyelenggaraan OTSUS yang benar?
Kalau ada, apakah strategi tersebut relevan? Kalau relevan, apakah OTSUS telah dijalankan dengan benar sehingga masyarakat bawa OAP telah disentuh? Disadari bahwa jawaban bagi pertanyaan ini tidak mudah dan dapat diperdebatkan.
Namun, “niat baik OTSUS” harus mendatangkan kemanfaatan guna mengangkat harkat hidup masyarakat bawa OAP seperti di Asmat. Sebagai pengingat, pada zaman ORLA, ada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang memiliki Direktorat Pendidikan Masyarakat. Direktorat ini kebih banyak berfungsi mengatasi “masalah literasi” atau “buta huruf.”
Kini timbul pertanyaan, “Apakah Pemerintah Pusat dapat menghidupkan Direktorat sejenis pada kementerian terkait untuk mendukung implementasi OTSUS secara konsekwen dan tuntas menghadirkan strategi revitalisasi melalui inkulturasi masyarakat Asmat?
Saya tidak mengajak untuk “menyeruput kopi” guna menyikapi strategi revitalisai inkulturasi Asmat ini. Tetapi, lebih banyak berharap akan kemauan baik dan kearifan Pemerintah Pusat, Provinsi, Daerah dan Lokal untuk menggarap strategi penerapan OTSUS dengan benar serta tepat dan diterapkan secara mantap mendukung inkulturasi merevitalisasi OAP Asmat.
Harapan besar adalah agar OAP level bawa seperti masyarakat Asmat dapat direvitalisasi secara holistik guna menikmati manfaat serta dampak positif penerapan OTSUS. Salam, dalam doa dan harapan!
www.yakobtomatala.com