Tapak Sang Abadi tertapak diri di ruang-ruang kehidupan
Tapak lakonan Sang Janji berhengkang dari Kota Damai, menyasar tepi sumur, tempat begundal mengumpet, tergusur …
Dari arena sang kuasa yang satu, ke lahan dipertuan yang lain, melintas petuanan gondokan kebuyutan
Tapak-tapak Sang Abadi mengendus “aroma diskriminasi”
menyusup ruang terata tanah, tepian sumur …
menyentuh rasa rusuh, dalam pinta, “Berilah Aku minum”
Minum…?
Minum, pengorak tabir kisah kasak kusuk lusuh diskriminatif …
“Orang-ku, orang-mu tidak bergaul ….”
Minum, menunjuk Air Hidup, memuas pencari keabadian
Minum, mengurai welas asih Sang Janji, menggilas diskriminasi
Minum, pemuas haus demi mengabadi
Minum, menguak kiat Penyelamat menggapai yang sekarat, mengkangkangi diskriminasi
Minum, merujuk jabat pendamain Sang Abadi, menuntas keperihan keletihan nurani para tersisih
Minum, penguras runyaman rerata keluarga, menjernih pekat rasa rusuh hati berjernih jiwa
Minum, penghadir bebas sang pendosa ditanda kata saksi, “nyata sekarang padaku, bahwa Engkau Jurukata Sang Abadi, Penyelamat Terjanji”
Minum, mematri hati Penyembah dalam Roh, dari yang jadi sang pendosa
Minum, menuntas lerai diskriminasi, menghadir tanya berjawab, “Mungkinkah Dia Yang Diurapi itu?”
Minum, menghubung serpihan diskriminasi berjawab bagi Sang Janji, “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kau katakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia”
Minum, merujuk “welas non-diskriminatif Sang Abadi”, Keselamatan karya Sang Janji menuntas rasa pahit sang terpinggir, menjadi “Sahabat Sang Abadi” tanpa embel diskriminasi …
“Selamat berjabat damai dengan Sang Janji, Sang Abadi – di ruang tanpa diskriminasi” …
www.yakobtomatala.com