TUHAN, IMAN, MUJIZAT DAN COVID-19

Firman Allah:
“Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini” (Ulangan 29:29).

Pengantar

Sikap orang Kristen menghadap-hadapkan dan mempertentangkan doktrin atau ajaran yang dianut, telah berakar dalam sejarah yang panjang. Hal seperti ini terjadi, karena ada yang berpendapat, penafsiran saya atas Alkitab lebih benar dan menyalahkan pandangan yang lain. Pada sisi lain, dalam menyikapi wabah Covid-19, orang Kristen cenderung melihatnya dari beberapa sudut pandang dan dapat bersilih paham.

Ada yang percaya bahwa TUHAN Allah berdaulat, dan percaya akan kesembuhan illahi, namun menjadi bingung, karena doanya meminta mujizat seolah tidak terjawab. Ada yang percaya TUHAN, tetapi tidak percaya mujizat, dan menolak ajaran tentang mujizat kesembuhan illahi. Ada juga yang skeptis dan masa bodoh terhadap semua ini. Dalam upaya mendiskusikan pendapat-pendapat di atas, maka ada beberapa pokok yang akan dipercakapkan:

Pertama, PERSPEKTIF BAHASA, TUHAN, DAN IMAN

Melihat dari sudut pandang antropologi, segala sesuatu yang memiliki bentuk, melekatkan padanya arti atau makna, fungsi serta tujuan. Bentuk apa pun, memiliki “nama” yang adalah simbol bentuk, arti, fungsi dan tujuan. Dengan demikian, bentuk apa saja dalam setiap kebudayaan, telah diberi nama sebagai simbol bentuk dengan arti serta fungsi khusus yang melekat padanya. Bentuk ini pun telah diberi nilai yang dibakukan dalam worldview, yang adalah pusat pembakuan nilai.

Dari worldview ini terbentuklah model berpikir (paradigm) yang dari padanya ada titik atau sudut pandang (perspective) untuk melihat dan memaknai serta menyikapi diri dan segala sesuatu di sekitarnya. Dari sisi ini, bahasa adalah sejenis bentuk yang memiliki arti atau makna, fungsi dan tujuan yang melekat dalam worldview.

Bentuk, makna, fungsi dan tujuan “bentuk bahasa” telah menjadi milik korporat suatu masyarakat, dan menjadi realitas yang mendasari paradigma dan perspektif untuk melihat segala hal yang ada pada dirinya dan yang ada di luarnya. Karena itu, sudah dapat diduga bahwa “bentuk bahasa yang sama” dapat memiliki makna atau arti, fungsi dan tujuan berbeda dalam benak setiap orang. Dengan demikian, jika menyebut TUHAN, iman dan mujizat, tentu mengandung implikasi bentuk, arti, fungsi dan tujuan yang berbeda.

A. Perspektif Bahasa:

Melihat uraian di atas, dapat diduga bahwa tatkala berbicara tentang TUHAN, iman, dan mujizat, setiap orang sudah melekatkan arti, fungsi dan tujuan yang berbeda padanya. Orang menggunakan kata TUHAN, iman dan mujizat yang sudah diberikan arti, fungsi dan tujuan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar bagi paradigma dan perspektif yang berbeda. TUHAN, iman dan mujizat dari perspektif teologisme dan dari perspektif antropomorfisme memiliki tekanan yang juga berbeda, yang beranjak dari realitas yang berbeda di dalam benak.

Perbedaan realitas dalam benak menghasilkan kesimpulan yang berbeda, dan mempengaruhi sikap yang juga berbeda. Dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa bahasa TUHAN dalam Pikiran TUHAN adalah “an sic” TUHAN dan hanya dipahami TUHAN. Bahasa TUHAN dalam pengertian bahasa tentang TUHAN haruslah bersifat teologisme, yang bertitik anjak dari Diri-Nya, penyataan-Nya (self disclosure-Nya), pernyataan-Nya (self revelation) dan tindakan-Nya yang Mahalengkap sempurna, yang terdapat di dalam Alkitab (Firman TUHAN Allah). Dengan demikian, jika kita menegaskan bahwa TUHAN Allah berdaulat, maka seharusnya kita menerima bahwa tidak ada yang mustahil bagi DIA.

B. Perspektif TUHAN:

Uraian di atas menjelaskan bahwa pandangan tentang hakikat TUHAN dan cara mengurai pengetahuan tentang DIA yang menegaskan perbedaan ekspresi dengan pendapat yang berbeda. Sebagai contoh jika seseorang menggunakan pendekatan berpikir ilmu yang antropomorfisme tentang TUHAN, maka ia akan menjelaskan kata “Allah mengeraskan hati Firaun” (Keluaran 4:21; 3:19, dsb) dengan cara yang analog manusia, sehingga TUHAN dipahami secara keliru.

“TUHAN dianggap keras, dan bertanggung jawab atas sikap Firaun, karena IA tidak adil jika menghukum raja Mesir ini, sebab IA-lah yang mengeraskan hatinya.” Padahal, jika dilihat dari sudut pandang teologisme, dan perbahasaan, maka dapat dipahami bahwa TUHAN Allah yang berdaulat, memiliki atribut Mahatahu (Keluaran 3:19), Mahakuasa, Mahaadil, Mahabijak, Mahakasih, dsb., (atribut yang terkomunikasi) dan atribut Mahasempurna lainnya (atribut yang tidak terkomunikasikan) di mana IA pasti menetapkan apa pun, mengetahui apa pun, pasti adil dan pasti bijak (Roma 11:36).

TUHAN Allah yang Mahatahu, mengetahui bahwa Firaun akan berkeras dan mengeraskan hatinya (Keluaran 3:19), dan terbukti bahwa Firaun mengeraskan hatinya (Keluaran 4:21,30; 7:13,22-23; 8:15,19,32; 9:7,12,34-35; 10:20). Dengan demikian, istilah “TUHAN mengeraskan hati” seharusnya dijelaskan sebagai “IA membiarkan Firaun dalam kekerasan hati” (Mazmur 81:13; Roma 1:24), maka tatkala IA menghukum IA terbukti Mahaadil (Ibrani 3:7-11; Roma 1:18; 2:8; Pengkhotbah 12:14).

Perlu disadari, bahwa kebiasaan dan cara membahasakan apa pun yang bersumber dari worldview, cenderung menghadirkan perbedaan yang nampak pada sikap, kata serta tindakan nyata. Dalam kaitan ini, setiap upaya tafsir serta berpikir tentang TUHAN, iman dan mujizat, harus diawali dengan bertanya, “apakah saya berpikir seperti TUHAN Allah berpikir, atau saya berpikir seperti saya berpikir dengan kerangka realitas budaya dan kebiasaan tafsir di dalam benak saya?” Berpikir seperti TUHAN berpikir, adalah upaya yang maharumit, karena siapakah yang mengetahui pikiran TUHAN? (I Korintus 2:16; Roma 11:34).

Namun yang dimaksudkan di sini adalah jika berbicara tentang TUHAN, iman dan mujizat, maka titik tumpuh berpikir haruslah dimulai dari TUHAN, yang dimaknai secara tekstual dan kontekstual dalam proses penafsiran.

Disusul dengan membahasakan tentang TUHAN dari perspektif hakikat (substansi, esensi, eksistensi) dan atribut-atribut serta tindakan-tindakan-Nya yang Mahasempurna serta Mahalengkap, terencana dan terlaksana sempurna. Dari uraian di atas ini terlihat bahwa kesalah pahaman dan tafsir yang berbeda tentang TUHAN terletak pada titik tumpuh penalaran yang antropomorfisme atau yang teologisme.

C. Perspektif TUHAN, IMAN, DAN ILMU:

Bahasa TUHAN dan Bahasa Iman serta Bahasa Ilmu adalah hal yang berbeda. Bahasa TUHAN adalah bagaimana TUHAN memandang diri-Nya dan bagaimana seharusnya berbicara tentang TUHAN dengan pendekatan yang teologisme, seperti yang telah diuraikan di atas. Bahasa iman adalah membahasakan TUHAN dari sudut pandang apa yang dipercayai tentang TUHAN. Membahasakan apa yang dipercayai tentang TUHAN cenderung bersifat eksklusif dan diabsolutkan.

Dengan demikian, tatkala orang mengatakan bahwa “saya percaya, atau menurut keyakinan saya, dan seterusnya, … maka orang cenderung mempertahankannya, dan mengabaikan serta bisa merendahkan kepercayaan orang lain.”

Karena itu, sudah dapat diduga bahwa bahasa Iman inilah yang dapat menjadi faktor persilangan pendapat selama ini yang menyisahkan perbedaan sengit, “saya benar, Anda salah.” Pada sisi lain, perlulah disadari bahwa bahasa Iman dan bahasa Ilmu juga memiliki perbedaan substansial.

Bahasa Iman cenderung memutlakan apa yang dipercayai. Sedangkan, bahasa Ilmu dibangun di atas fenomena, fakta, premis dan kaidah ilmiah dengan terma-terma serta metodologi dan metode Ilmiah yang dimaknakan sesuai bidang ilmu, dan dengan proposisi yang berprobabilitas, yang dapat menjadi sarana penalaran dan dialog mencari titik temu.

Dengan demikian, dalam pendekatan berpikir, menalar dan menyimpulkan, setiap orang perlu bertanya, apakah saya sedang menggunakan bahasa TUHAN atau bahasa IMAN atau bahasa ILMU tentang TUHAN, iman dan mujizat?

Kedua, TUHAN, KESEMBUHAN ALLAHI DAN COVID-19

Patutlah diingat, bahwa TUHAN Allah yang berdaulat sedang dalam pengendalian atas semua ciptaan-Nya. Pada sisi lain, perlulah ditanyakan, apakah TUHAN mengisinkan wabah Covid-19 dan mengapa hal ini terjadi?

A. TUHAN dan wabah:

Dalam Alkitab, wabah telah dipahami sebagai bagian dari Covenant TUHAN dengan umat-Nya, yang melibatkan “berkat” (Ulangan 28:1-14) dan atau “hukuman” atau “kutuk” (Ulangan 28:15-68). Dari perspektif ini, wabah, secara khusus tercatat dalam Ulangan 28:21-22, sebagai hukuman TUHAN.

Di sini muncul pertanyaan, apakah Covid-19 adalah hukuman TUHAN atas dunia, umat manusia, masyarakat umum atau pribadi dan atau orang Kristen? (Ulangan 28:21-22; II Samuel 24:14; I Tawarikh 21:11-13).

Pertanyaan lain ialah, apakah Covid-19 ini adalah tanda akhir zaman? (Wahyu 6:8). Jawabannya ialah bahwa penghakiman serta penghukuman adalah hak TUHAN dan semua tindakan-Nya ada pada diri-Nya yang berdaulat. Bagi orang Kristen, jawaban “ya” yang kesusu, dapat berarti mengambil hak TUHAN Allah.

Karena patut ditanyakan, siapa yang berhak untuk mengangkat siapa, menjadi jurubicara Allah atau menjadi hakim atas nama TUHAN? Atau menjadi nabi yang bernubuat atas nama TUHAN? Perlulah disadari bahwa pengalaman Covid-19 ini terjadi dari pihak TUHAN untuk mewujudkan rencana-Nya yang kekal bagi umat-Nya dan seisi dunia.

Kita hanya diingatkan bahwa Covid-19 adalah “tanda-tanda TUHAN” dan kita bertanggung jawab menjadikannya sebagai pelajaran kehidupan, yang belajar dari hidup tentang hidup untuk hidup. Di samping itu, pengalaman ini juga membuat kita waspada dalam iman serta teguh dalam pengharapan akan kedatangan TUHAN Yesus Kristus.

Kita tidak berhak untuk mengambil hak TUHAN dengan menghakimi mereka yang tertular Covid-19. Semua tentu terjadi atas kehendak Allah (Roma 8:28) dan kemanfaatan dari pengalaman Covid-19 hanya dapat dipahami oleh mereka yang mengalaminya.

Covid-19 dapat juga dilihat sebagai cara TUHAN Allah memberkati dunia ciptaan-Nya (Common Grace) yang membawa pemulihan semesta, dan cara IA menuntun kehidupan umat-Nya (Special Grace) untuk menyiarahi anugerah-Nya demi mewujudkan Amanat Agung yang kekal guna memberkati dunia (Matius 28:18-20).

Pada sisi lain, Covid-19 bagi mereka yang meninggal adalah “cara wafat” yang telah ditetapkan TUHAN bagi semua orang sebagai makluk ciptaan-Nya. Di sini kita hanya dapat berkata, TUHAN memberi, TUHAN mengambil, segala puji bagi DIA (Ayub 1:21). Biarlah TUHAN Allah dimuliakan (Roma 11:36), dan kita terhindarkan dari sikap menghakimi sesama.

B. TUHAN dan kesembuhan allahi:

Perlulah ditegaskan bahwa TUHAN Allah berdaulat dan Mahakuasa, yang dapat melakukan apa pun sesuai kehendak-Nya. Masalah yang timbul adalah bahwa ada sementara orang Kristen yang tidak mempercayai mujizat dan menolak kesembuhan illahi (allahi). Dapat diduga bahwa pandangan ini tidak menempatkan TUHAN Allah sebagai berdaulat dalam arti yang sesungguhnya.

Pada sisi lain, ada orang Kristen yang mengklaim Janji TUHAN (Yohanes 14:12-14) sebagai janji kuasa melakukan hal besar, termasuk mujizat. Istilah “melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar” di sini, dapat menimbulkan perbedaan tafsir, yang mempengaruhi iman dan sikap. Bagi mereka yang menghubungkan pekerjaan besar dengan mujizat, harus disadari bahwa “mujizat adalah cara TUHAN Allah bekerja” dan pelayanan kesembuhan adalah bagian dari “karunia mujizat” yang dipercayakan TUHAN (I Korintus 12:9-10).

Dari sisi ini, setiap orang Kristen yang mengatakan bahwa ia dikaruniai karunia kesembuhan dan atau karunia mengadakan mujizat harus menyadari bahwa semua ini adalah sepenuhnya anugerah dan hak TUHAN.

Karena itu siapa pun yang mengklaim dikaruniai karunia kesembuhan dan karunia mengadakan mujizat, hendaklah bertanggung jawab melaksanakannya dengan hormat, rendah hati, dan takut akan TUHAN, karena pekerjaan ROH KUDUS tidak dapat dicopy paste. Sebaliknya mereka yang tidak menerima tafsir ini, kiranya berbijak hati untuk tidak menghakimi.

C. TUHAN dan Covid-19:

Dipahami, bahwa TUHAN Allah dapat mengadakan mujizat dan menghentikan atau membiarkan Covid- 19 menghancurkan dunia, bahwa semua ini adalah urusan-Nya, karena IA berdaulat ada-Nya. Dalam hubungan ini, jika TUHAN Allah menghendaki, IA dapat menghentikan Covid-19 sekarang, mau pun kapan-kapan, sesuai kehendak-Nya.

Apakah orang Kristen dapat berdoa dan memohon TUHAN menghentikan Covid-19? Ya, orang Kristen harus berdoa (I Tesalonika 5:17-18; Efesus 6:19-20), namun doanya haruslah doa iman yang menegaskan, “kehendak-Mu jadilah, di bumi seperti di sorga” (Matius 6:9-10), dan taat menunggu jawaban TUHAN.

Dalam kaitan ini, orang Percaya memiliki jaminan berdoa dan jawaban doa bagi perlindungan dari TUHAN Allah (Mazmur 91). Pada sisi lain, ada tanggung jawab yang harus dilakukan demi mengalami janji perlindungan-Nya dengan mempercayai dan mengharapkan pertolongan Allah.

Sebagai contoh, ada janji, “mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan kena celaka,” – orang Kristen yang menggunakan bahasa iman, dengan serta merta berkata, padaku ada kuasa, aku tidak takut dipagut ular dan tidak takut minum racun … sila! Lihat saja apa akibatnya. Iman kepada janji TUHAN selalu disertai dengan tanggung jawab taat demi berbuat kebenaran, yang tidak sama dengan mendemo kuasa atas nama TUHAN.

Ingatlah juga bahwa konteks janji di atas adalah dalam kaitan dengan “tanggung jawab taat menjalankan Amanat Agung , memberitakan Injil Yesus Kristus.” Dalam ketaatan kepada TUHAN-lah maka IA menggenapkan janji-Nya, melindungi dari racun mau pun sengatan ular (Banding: KPR 28:1-6).

Dengan demikian adalah merupakan tanggung jawab orang percaya untuk berdoa bagi kesembuhan dari Covid-19, bahkan mengharapkan mujizat TUHAN. Pada sisi lain ada juga tanggung jawab menjalankan peran sipil, menjaga jarak, menjaga kesehatan, melindungi diri dan tinggal di rumah, menanti jawaban TUHAN atas ancaman Covid-19. Semua ini punya tempat, berkepatutan dan sinkron satu kepada yang lainnya.

KESIMPULAN

Percakapan tentang TUHAN, iman, mujizat dan Covid-19 masih menyisahkan pertanyaan yang harus terus dikaji guna berbagi jawaban. Mencerahkan dan menggorak hubungan TUHAN, iman, mujizat kesembuhan dari Covid-19, maka ada beberapa catatan yang perlu ditoreh ulang:

Pertama, Kita harus selalu mempertanyakan diri sendiri, jika saya menggunakan istilah TUHAN, iman dan mujizat kesembuhan allahi atas Covid-19, apa yang saya maknakan, serta apa perbedaannya dengan orang lain? Jawaban positif atas pertanyaan di atas merupakan pencerminan sikap yang berterima, dan dapat menghadirkan sikap saling menghargai.

Kedua, TUHAN Allah adalah berdaulat, karena itu, IA dapat melakukan apa pun, termasuk mujizat kesembuhan dari Covid-19, bahkan menghentikan atau membiarkan Covid-19 berlanjut. Tanggung jawab Kristen adalah menghormati TUHAN, taat kepada-Nya, mengimani janji-Nya dan tekun berdoa memohon belas kasihan serta perlindungan-Nya dengan penuh keyakinan, bahwa mujizat dapat terjadi, Covid-19 pasti berlalu
pada waktu TUHAN, sehingga nama-Nya dimuliakan, dan janji-Nya genap atas umat-Nya. Semua ini mengimpartasi ajaran dari hidup dengan TUHAN, untuk hidup bagi DIA dan menjadi kesaksian kepada dunia.

Ketiga, Adalah merupakan tanggung jawab serta peran sipil Kristen yang tidak boleh diabaikan, yaitu taat kepada Pemerintah (Roma 13:-5), bekerja sama untuk menerapkan physical and social distancing, jaga kesehatan (pakai masker, cuci tangan, makan sehat) dan tinggal di rumah demi mengatasi Covid-19 secara bersama. Hm, perlu terus direnungkan dan dielaborasi …

Selamat memahami TUHAN dengan cara TUHAN melalui iman dan pengharapan yang teguh bahwa Covid-19 pasti berlalu …

Salam kerja sama,

www.yakobtomatala.com

covid-19
Comments (0)
Add Comment