PEMIMPIN ARIF, MEMIMPIN DENGAN MENGASIHI SEBAGAI GAYA KEPEMIMPINAN YANG ALTRUIS [1]

PEMIMPIN ARIF, MEMIMPIN DENGAN MENGASIHI SEBAGAI GAYA KEPEMIMPINAN YANG ALTRUIS [1]

Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah kepada mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5:44).

PENGANTAR

Kasih, adalah istilah yang sangat populer. Kata yang satu ini sangat dikenal oleh setiap insan secara umum. Pada sisi lain, kasih itu sesungguhnya secara khusus  meneguhkan, menyatukan, mengikat orang-orang yang berbeda satu dengan yang lainnya, laki-laki-perempuan, tua-muda, besar kecil, hitam-putih, dan melewati semua perbedaan, karena sifatnya yang sangat khas (I Korintus 13). Kata ini menyentuh lubuk hati, menyentuh roh dan jiwa manusia, menyentuh pribadi pada level yang terdalam, bahkan dapat mengikat secara multi-individu.  Dari perspektif yang lain, kasih yang begitu melekat pada hati dan lidah setiap orang telah dimaknai secara berbeda, sehingga diekspresikan juga secara berbeda. Dalam upaya mengekspresikan kasih secara benar dalam kepemimpinan, langkah penting adalah memahami maknanya.

Memahami makna kasih, istilah-istilah Yunani untuk kata ini adalah eros (kasih hubungan antara dua jenis kelamin yang berbeda, laki-laki dan perempuan); filea (kasih hubungan persahabatan); storge (kasih hubungan keluarga); dan agape (kasih ilahi, kasih yang ada hanya pada TUHAN Allah). Perbedaan kasih yang lain dengan agape ialah bahwa agape adalah kasih yang tidak bersayarat, yang rela untuk memberi, melepaskan, tidak menuntut, dan yang berkorban tanpa pamrih, bahkan siap untuk hancur demi kebaikan yang dikasihi. Sedangkan semua kasih yang lain adalah kebalikkan dari kasih agape ini. Kasih agape memiliki kekuatan mengikat dan membebaskan yang melampaui segala kekuatan lain. Kasih agape ini dapat memulihkan secara tuntas, walaupun diancam oleh keambrukkan serta kerusakkan hubungan yang terparah sekali pun. Ia dapat merupakan dan menjadi segalanya, karena “kasih agape ini adalah atribut-Nya TUHAN Allah.” Untuk memaknakan, mendalami dan menerapkannya, marilah kita menyimaknya bersama.

KASIH ADALAH HAKIKAT CARA MENG-ADA-NYA TUHAN ALLAH

Telah diuraikan secara umum makna dari kasih itu, dan secara khusus membedakan kasih agape dari kasih yang lainnya. Dalam pemahaman ini, bila Firman Allah menegaskan bahwa “Allah adalah KASIH” (I Yohanes 4:8b), maka kebenaran tentang Allah yang adalah Maha KASIH ini melebihi segala bentuk kasih yang ada dan yang dapat dipahami. KASIH dalam kaitan ini adalah “atribut” (attribute – sifat khas) TUHAN Allah, yang menjelaskan tentang HAKIKAT-NYA yang berdaulat dan cara IA meng-ADA (menyatakan keberadaan-Nya) di tengah-tengah ciptaan-Nya. Kebenaran ini menegaskan bahwa Allah dengan sendirinya mengasihi semua manusia di seluruh tempat dan segala abad, tanpa pembedaan agama, suku, ras, bangsa, jenis kelamin, usia, pendidikan, status sosial, hunian secara geografis, denominasi gereja, bahkan kondisi moralitas, dimana Allah mengasihi sebegitu rupa yang olehnya “IA menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang benar dan orang yang tidak benar” (Matius 5:45b). Dengan kekuatan kasih-Nya ini, Allah menyatakan kepedulian-Nya kepada manusia tanpa menuntut, tanpa bersyarat. Karena itu, oleh anugerah-Nya yang kekal, IA menghadirkan rahmat-Nya yang menyelamatkan manusia berdosa di dalam serta melalui YESUS KRISTUS (Yohanes 3:16). Ini adalah kebenaran yang menjelaskan cara Allah menyelesaikan masalah manusia (Roma 3:23; 6:23), yang olehnya manusia dimanusiakan yang salah satu indikatornya ialah “manusia dapat mengasihi sesamanya manusia” sebagai bagian imbasan kasih Allah yang telah diterimanya.

ALLAH ADALAH KASIH MENGHARUSKAN KASIH BAGI SESAMA

Kebenaran tentang “Allah yang adalah kasih” (I Yohanes 4:8b) menegaskan tuntutan kasih itu sendiri, yaitu bahwa “kasih yang berasal dari Allah itu mengharuskan mereka yang telah tersentuh kasih-Nya untuk mengasihi, sebagaimana mereka telah dikasihi” (I Yohanes 4:7-8; Yohanes 13:34-35). Dalam kaitan ini, mereka yang telah mengalami lawatan cara-ber-ADA-Nya Allah, yaitu mereka yang telah mengalami kasih-Nya yang menyelamatkan, memiliki tanggungjawab untuk “mengasihi sesama” tanpa syarat sama seperti mereka telah dikasihi oleh Allah. Bagaimana seharusnya kasih Allah itu dinyatakan dalam realita kehidupan keseharian:

  • Kasih Allah yang membawa transformasi kehidupan itu memberikan kekuatan untuk hidup bagi Allah dengan mengasihi DIA (Ulangan 6:5; Matius 22:37-40) dan mengabdi bagi kemuliaan-Nya (II Korintus 5:17; 13-15). Indikator penting bagi kebenaran ini ialah adanya kemauan baik untuk hidup dalam cara hidup etika-moral yang benar (hidup kudus), sebagai tanda dan bukti bahwa kita memberikan prioritas bagi pengabdian kepada TUHAN Allah yang dinyatakan dalam sepanjang kehidupan pada segala bidang hidup (I Petrus 1:15-16). Indikator lain ialah bahwa kita hidup bagi TUHAN Allah dengan mencerminkan kasih-Nya dalam hidup dan perbuatan, sehingga IA dimuliakan (I Yohanes 3:11-18; Roma 11:36).
  • Kasih Allah meneguhkan sikap altruis untuk mengasihi sesama “tanpa batas, dan tanpa syarat” dengan penyentuhan yang manusiawi yang melebihi batas-batas hubungan primordial dan melebihi kepentingan golongan (I Yohanes 4:7-12; 2:7-13; Yohanes 13:34-35; Matius 22:34-40). Sikap altruis ini akan nyata dengan tindakan “menangis dengan mereka yang menangis, berbagi dengan mereka yang sekarat dan tidak berpunya,” siapa pun mereka. Sikap ini harus nyata dalam kehadiran yang menghadirkan kebenaran dan keadilan yang membawa kedamaian, rasa aman, sejahtera, ketenteraman dan kecukupan bagi sesama di mana pun kita berada, sebagai indikator kasih sejati yang dihidupi secara nyata (Yesaya 32:1-2,17).
  • Kasih Allah memberikan kekuatan untuk berpihak kepada kebenaran dan keadilan dengan menghargai hak sesama untuk hidup berdampingan dalam masyarakat sebagai insan milik Sang Khalik (Yesaya 32:8). Kekuatan kasih ini meneguhkan untuk menjadi manusia pembangun yang membangun sesama dengan sepenuh hati tanpa sikap tendensius yang negatif. Kenyataan ini dengan sendirinya membenarkan kebenaran yang dinyatakan dalam frasa “Orang benar mengetahui hak orang lemah, tetapi orang fasik tidak mengertinya” (Amsal 29:7). Semua ini dapat terjadi melalui kita, oleh kasih yang dikaruniakan oleh TUHAN Allah kepada mereka yang dikasihi-Nya.

REFLEKSI

Menyimak kebenaran tentang pokok, “Pemimpin arif, memimpin dengan mengasihi sebagai gaya kepemimpinan yang altruis,” kini perlu dipertanyakan, mengapa pemimpin perlu mengasihi, dan mengasihi tanpa pandang buluh ini? Dalam upaya menegaskan kebenaran ini, maka beberapa prinsip yang harus ditegakkan adalah antara lain:

  • Pemimpin harus mengasihi tanpa pandang buluh yang merefleksikan pengenalannya akan TUHAN Allah, bahwa ia telah mengalami kasih Allah yang membebaskannya dari dosa; dan bahwa ia hidup mencerminkan kemuliaan Allah dengan mengasihi (Yohanes 3:16, 25). Kasih memampukan pemimpin untuk memberlakukan sikap altruis terhadap setiap orang sebagai sesama yang olehnya ada gambaran serta pembuktian ketaatannya akan kehendak Allah dan memuliakan nama-Nya, menjadi berkat dalam kepemimpinannya (Yohanes 13:34-35; Matius 22:34-40; Roma 13:8; 11:36).
  • Pemimpin harus mengasihi sebagai kekuatan etika moral agung yang mampu mengasihi melewati kekuatan kemanusiaan (I Korintus 13), yang olehnya ia menggunakan kuasa kepemimpinan secara bertanggung jawab (I Petrus 5:1-4; Roma 14:1-12). Dengan menggunakan kuasa secara bertanggung jawab, Pemimpin terhindar dari sikap arogan  dimana ia akan lebih manusiawi dalam sikap serta tindakannya.
  • Pemimpin harus mengasihi, karena alasannya ialah bahwa dengan mengasihi, pemimpin menunjukkan harkat diri sebagai pemimpin yang memiliki sikap hati mulia sebagai pemimpin bermartabat tinggi (Yesaya 32:8) dan membuktikan kebijaksanaannya sebagai pemimpin sejati yang berjiwa besar, tidak pandang muka, tidak primordialis (I Raja-raja 3:1-28).
  • Pemimpin harus mengasihi karena dengannya ia dapat membuktikan adanya kekuatan istimewa padanya untuk membangun sikap dan menyikapi sesama secara altruis, melebihi harkat manusia yang cenderung egois dan memiliki keinginan menguasai atau mendominasi sesama. Dengan mengasihi, pemimpin akan terbukti bersikap bijak (mengatasi kelemahan kemanusiaannya) dan ia dapat memberlakukan gaya yang konsiderat (bersikap penuh pertimbangan kritis positif) dengan sikap arif terhadap orang yang dipimpinnya (I Yohanes 4:7-12).
  • Pemimpin harus mengasihi, karena dengan kasih, ia meneguhkan dirinya dengan disiplin dan penguasaan diri yang menggambarkan adanya daya ekstraordinari untuk bertahan menghadapi tekanan serta kesulitan dan rela berkorban dalam menjalankan kepemiminannya. Kasih memampukan Pemimpin untuk mengabaikan kepentingan diri dan kelompok sendiri, serta mengabdi bagi kepentingan yang lebih besar, meneguhkan organisasi, memberkati banyak orang. Kasih memberikan kekuatan kepada pemimpin untuk mengatasi krisis kepemimpinan dengan pertimbangan benar, baik, sehat, matang serta dewasa yang menyelesaikan masalah dan memuaskan semua pihak (I Korintus 13:13; II Korintus 5:13-14).
  • Pemimpin sejati harus mengasihi, karena mengasihi adalah cara terbaik meneguhkan persekutuan berkat (Mazmur 133; Filipi 2:1-11) serta membina hubungan harmonis yang mengokohkan kerjasama (sinergi kelompok) untuk menyiapkan tindakan yang simultan dalam kepemimpinan dan menguatkan perannya dengan melayani dari hati (Markus 10:41-45), yang menjamin sukses dalam kepemimpinan. Mengasihi membuat Pemimpin mudah berendah hati, serta menghargai potensi, cara kerja dan sumbangsih setiap semua komponen manusia sehingga proses kepemimpinan dapat berjalan sinergis, simultan dan dinamis yang menghasilkan secara maksimal serta membawa sukses.

Selamat memimpin dengan mengasihi tanpa pamrih dan membuktikan diri sebagai pemimpin arif yang sukses karena ia mengasihi yang berorientasi kepada sesama.

Salam dan doa,

Pdt. Dr. Yakob Tomatala


[1] Pokok ini pernah ditayangkan dalam Acara TVRI yang disponsori oleh YAKOMA PGI dengan judul: “Kasih Allah untuk semua.”
PEMIMPIN DENGAN MENGASIHI
Comments (0)
Add Comment